Rabu, 23 Maret 2011

Kegelapan yang Berujung pada Sinar Kebahagiaan


Dalam senjanya hari ini teringat kisah waktu lalu . Waktu dimana kesabaran telah teruji, tapi semuanya telah musnah setelah suatu ketika kutemukan  apa yang selama ini aku inginkan.Setelah semua itu, aku rasa semuanya yang ada dalam diriku berubah melebihi 360 derajat.Sebuah wajah kaku, murung, dan kesepian semasa lalu, kini hanya ada  senyuman yang terlihat ketika ku berselok dalam cermin kamarku, seakan telah kualami suatu hal yang sangat ingin kualami. Andai kata kala itu, ku putuskan semua di jalan yang semestinya, mungkin kini aku akan terjerat kesengsaraan. 

Dalam keheningan malam yang membuatku selalu memikirkan sebauh kasih yang telah lama ku rasakan, telah lama bersama dan telah lama menjadi suatu yang amat berarti dalam hidupku. Kutatap foto lamaku bersama 3 sahabatku yang kupasang dengan bingkai cantik di dinding kamarku.
10 tahun yang lalu…foto yang sudah terlihat usang dan tua. Tapi ku coba untuk tetap menjadikan nya cantik, seakan baru saja ku pasang di dindingku kemaren saat aku baru saja berhenti bermain dengan mereka.Keheningan malam itupun membuatku lebih terlena akan bayang-bayang masa lalu yang penuh dengankegembiraan, keluguan, kenakalan, dan kasih sayang. Tapi semakin aku beranjak dewasa semakin aku kehilangan masa-masa indah itu. Hening malam itu, serasa lenyap ketika terbayang masa-masa kecilku, tawa kecil muncul dari bibirku.Seakan aku merasakan mereka ada disini menemaniku, mengajakku bermain, selalu bertengkar dan selalu mengadu pada ibu saat bermusuhan,memang....itulah anak kecil. Persahabatan yang terjalin dari masa kecil hingga dewasa.

Disisi lain, selain terbayang kisah-kisah lucu ku teringat pada salah seorang sahabatku saat ku mulai beranjak dewasa......
“ Ana.. maafkan aku, aku tahu aku salah” ucapku pada Ana. Dia begitu kecewa saat aku menghilangkan barang berharganya.
“ Kamu tahu tidak harga barang ini!!! Kamu juga ga’ akan bisa beli tahu” bentak Ana. Hiksss, kini tetes air mata yang membasahi kedua pipiku. “ Ana,, kenapa kau tega padaku, aku tahu aku miskin tapi bukan berarti kau seperti itu. Aku kecewa padamu” kataku yang menghindar dari mereka. Ana sama sekali tak menghiraukan aku, dia sungguh berbeda dari yang ku kenal.
 Semenjak itu, persahabatan kami putus. Andai Gilang tidak ke Singapura, mungkin ini tidak akan terjadi. Kekecewaan ini membuat aku putus sekolah, Ana yang selalu membantuku dalam keadaan apapun, tapi kini ini ia berubah, aku kehilangan sahabatku. Ana menjadi sombong bahkan dia seperti Widi dan kawan-kawannya yang selalu memamamerkan  harta orang tuanya.
Hari demi hari ku lewati sendiri, bekerja sebagai pencuci piring di restaurant terkenal, keluargaku entah dimana berada. Nenekku yang mengurusku kini telah tiada. Hidup sebatang kara, andai aku tahu dimana ayah berada mungkin hidupku tidakkan seperti ini.
@@@
Pagi itu tepat hari ulang tahunku ke 17, dimana hari-hari bahagia terjadi tapi bukan untukku. Saat aku menelusuri jalan entah mengapa pikiranku selalu terbayang seseorang yang aku kagumi. Tidak!! Aku memikirkan Gilang, aku bukan yang dulu lagi. Aku kini seorang wanita pendiam, pemalu bahkan wanita tertutup. Aku semakin jauh dari masyarakat. Mereka seperti mengucilku karena tubuhku yang kurus tak berdaging. Meskipun aku sudah bekerja tapi itu hanya cukup untuk bayar kontrakan dan kendaraan.


Tempatku bekerja lebih ramai dari biasanya, entah ada apa di sana, aku tak menghiraukannya. Aku langsung menUju dapur. Pakaian yang sebenernya tak pantas untukku harus ku pakai. Saat aku mencuci sepintas aku melihat seorang lelaki umurnya sekitar 18 tahun , wajahnya tampan, putih, tinggi dan berwibawa. Sepertinya aku pernah melihat. Ah, tidak mungkin aku tahu lelaki itu. Akhirnya ku lanjutkan pekerjaanku, tapi......
“ Maaf mba, apakah ada piring yang masih bersih?” Tanya lelaki itu, aku langsung mengambil dan menengok, dan aku langsung kaget. “ Mas Gilang?” ucapku dalam hati. “ Asih?” kagetnya. Aku langsung lari menjauhinya. Entah mengapa aku lari. Mungkin itu  memang kewajibanku. Dia kaget dan mengejarku. “ asih tunggu!” panggilnya, tapi dia berhenti melangkah ketika seorang gadis memanggilnya. Aku intip mereka, ternyata Ana. Ana memanggil Gilang dengan sebutan mesra. Sebenarnya ada apa ini? Apakah mereka jadian? Padahal baru setahun aku meninggalkan kenangan itu. Tapi untuk apa merka ke restaurant ini? Aku baru ingat tanggal ulang tahunku sama dengan Gilang hanya saja beda satu tahun.
Gilang begitu berbeda, kini ia jadi seorang yang hebat. Padahal dulu ia sama seperti aku yang miskin hanya saja dia lebih beruntung. Dia anak yatim yang dipungut orang kaya. Sungguh beruntungnya dia. Aku hanya bisa mengintip dari jendela. Air mata ini menetes saat ku melihat Gilang dan Ana begitu mesra. Mereka pasangan yang cocok. Tapi mengapa mereka bahagia di atas penderitaanku? Andai waktu terulang lagi, aku akan ikut dengan Gilang untuk sekolah gratis di Singapura.
@@@
Seminggu aku jadi pengangguran, aku berhenti karena aku tahu Gilang mencariku. Aku malu melihat aku seperti ini di hadapan Gilang. Kini aku hanya sebagai orang yang tak berguna, setiap hari pekerjaanku mencari lowongan di surat kabar dan menghindar dari Gilang. Gilang, maafkan aku.
Aku tak sanggup harus menghindar karena aku juga manusia yang ingin merasakan manisnya kebahagiaan. Haruskah tetes airmata menetes terus menerus? Tidak, itu bukan aku yang penuh semangat dan senyuman. Apapun aku lakukan demi kebahagiaan hidup ini. Akhirnya aku putuskan untuk bersemangat lagi.
Minggu ini mendung, teringat 3 tahun lalu, saat Gilang memberi aku payung kuningnya. "Ah, itu masa lalu!" dalam hatiku menolak memikirkannya. Meskipun hujan aku harus tetap bangun dari khayalan ini. Aku ingat, Bu Ami menyarankanku untuk bekerja menjadi pembantu di rumahnya. Baiklah, demi hidup apaun aku lakukan. Dengan payung kuning, aku beranjak pergi dari rumah.
Ternyata sangatlah enak bekerja sebagai pembantu, hanya mencuci dengan mesin cuci, mengepel. Dan itu semua sudah terbiasa bagiku. Dengan gaya aku bekerja, semua begitu mudah. Bu Ami yang melihatku tersenyum, mungkin dalam pikirannya hanya melihat seorang gadis malang yang ceria. Ah, hanya bayanganku saja.
  @@@
Sudah 3 tahun ini aku bekerja sebagai pembantu, Ibu Ami sangatlah percaya paadku, bahkan aku diangkat sebagai anaknya. Sungguh mulia sekali beliau, dalam pikiranku aku tak boleh buat Bu Ami kecewa. Ternyata Bu Ami punya anak laki-laki yang kini kuliah di Kairo. Aku baru mengetahui saat anak sulungnya akan pulang. Katanya orangnya gagah, hemm apa ketampanannya melebihi Mas Gilang?
Semua penghuni sangatlah sibuk, ada yang menyiapkan makanan, membersihkan rumah seperti aku ini. Bahkan Bu Ami sendiri juga sibuk mengatur tata ruang tamu. Betul-betul sangat special, siapa sangka anak sulungnya mendapat beasiswa di Universitas Kairo. Namanya Akbar, orang-orang memanggilnya mas Akbar. Nama yang sunggung indah.
Akhirnya semua beres, Bu Ami begitu lega. Selang beberapa jam Akbar datang, semua menyapanya bagaikan aktor terkenal, namun sayang aku tak bisa melihatnya karena tugasku hanya sebagai pembantu. Saat aku mencuci piring-piring kotor, Bu Ami memanggilku untuk menyuguhkan minuman, entah apa yang terjadi aku begitu gugup.
Subhanalloh, begitu tampankah dia? Wajahnya mirip seperti Gilang, apakah itu Gilang atau Akbar? Dia begitu santun, wajahnya seperti Gilang. Mungkin hanya khayalanku saja. Bu Ami memperkenalkan aku kepadanya. Baru beberapa menit kami kenal, tapi kami seperti orang yang sudah lama dikenalnya.
  @@@
Sudah seminggu Akbar di Indonesia, kedekatan kami mulai terasa. Kedatangannya seperti menyulapku, menjadi wanita berjiblab. Tapi, tiba-tiba dia menyebut kata Gilang. Dia bercerita tentang Gilang, sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Akbar bertemu Gilang saat ia masih di panti asuhan. Apakah yang ia maksud Gilang yang selalu aku hindari? Nama Gilang tentu banyak di Indonesia.
Siang ini, Akbar berencana untuk ke panti asuhan Gilang, mungkin dia akan menemui Gilang. Aku yang sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba Akbar mengajakku. Tentu aku tidak bisa menemaninya , karena pekerjaanku belum selesai. Sebenarnya aku takut jika Gilang yang ia maksudkan adalah Gilang Lukman Pradana. Menolak ajakannya terpendam karena Ibu Ami menyuruhku untuk menemaninya. Entah mengapa Bu Ami seperti ingin mendekatkanku pada Akbar.
Astaga, jadi benar  Gilang yang ia maksudkan adalah Gilang Lukman Pradana. Aku begitu gugup setelah berdiri di depan panti asuhan “Bunda Pertiwi”. Aku tak percaya, ini kebetulan atau sudah ditakdirkan aku menemuinya. Mana mungkin Gilang dapat ditemui di sini, dia sudah di asuh keluarga orang kaya. Kini aku kembali tersenyum. Akbar yang melihatku terasa heran. Aku hanya memberi ia senyuman.
“mas, aku di luar saja, ga apa-apa kan?” pintaku. Tentu saja Akbar mau menuruti kataku.aku duduk di teras teringat 4 tahun silam saat Gilang mengajakku untuk menemui Ibu Panti. Terlihat masih seperti dulu. Saat aku mengingat masa lalu tiba-tiba Akbar sudah di sampingku. Dia memperkenalkanku kepada seseorang. Ternyata itu Gilang, akau begitu gugup ingin aku lari dari hadapannya namun tak bisa.” Asih, apa itu kau?” aku menunduk kepala.
” Kalian saling kenal?”, Tanya Akbar.
“ Mas, gadis ini yang aku ceritakan di email”, jawab Gilang. Ternyata mereka saling berkomunikasi?
Gilang menceritakan keadaan Ana, Ana sedang sakit. Ia menderita penyakit kanker otak. Aku kaget sekali, seorang Ana yang selalu hidup sehat dan mewah memiliki penyakit begitu menyeramkan. Dalam hati ini, masih terasa sakit sekali, Ana yang aku kenal telah berubah. Dia sombong dan kikir. Pikirku. Gilang memintaku untuk menemui Ana. Tapi aku menolaknya.
” Asih. Aku mohon jenguk Ana, dan maafkan semua kesalahannya. Dia sudah khilaf dan ingin meminta maaf kepadamu. Aku mohon”, pintanya. Aku meneteskan air mata.
” Mas, aku tahu itu! Tapi apa kamu tahu yang aku rasakan? Sakiit mas, aku selalu dihina olehnya, bahkan aku sampai menutup niatku untuk menjadi dokter”.
” Asih, aku tahu bagaimana rasanya, tapi apa kamu harus seperti ini terus? Berada dalam rasa gelisah,yang selalu kamu rasakan? Mungkin waktu itu Ana sedang khilaf” ucap Akbar. Akhirnya aku putuskan untuk menjenguk Ana. Aku harus bisa mengikhlaskan semua kesalahannya, dan memaafkannya. Ana juga sering membantuku waktu aku masih sekolah.
  @@@
Akhirnya aku menjenguk Ana dan memaafkannya. Kini Ana, bukan Ana yang aku kenal. Dia pucat, dan rambutnya botak. Dia juga tak begitu mengenalku. Aku merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk menikmati dunia meskipun sebagai orang malang. Saat aku tertawa bersama dengan Ana tiba-tiba denyut nadinya berhenti. Tidak mungkin, Ana harus hidup. Semua dokter membantunya agar bertahan hidup. Tapi takdir berkata lain, ruang yang penuh canda kini terasa pilu. Aku tak sanggup menatapnya. Akbar yang di sampingku, menutupi mata ini dengan sapu tangan. Selamat tinggal sahabatku. Maafkan aku.
Semenjak kematian Ana aku seperti orang tak berdaya. Bu Ami yang melihatku sperti itu menyuruhku untuk istirahat saja. Akbar yang sibuk dengan pekerjaannya tidak menghiburku lagi. Kini aku kembali ke kamar pembantu. Ku tatap fotoku dengan Ana, aku menyesal telah menghindar dari Gilang. Ternya dia mencariku karena ingin mengucapkan terima kasih dan untuk memaafkan kesalahan Ana. Gilang hanya menganggapku adik, dia telah memiliki tunangan yang akan menikah 2 tahun lagi. Aku salah sangka, sungguh malu aku.
“ Asih. Ada yang mencarimu”, Bu Ami memanggilku. Tamu untukku adalah orang tua Ana. Mereka ingin mengangkatku sebagai anaknya. Ana sendiri yang meminta mereka. Aku tak bisa lari dari amanah, tentu saja aku menerimanya. Kehidupan baru akan segera dimulai. Mereka juga akan menyuruhku untu ikut kejar paket c agar aku dapat kembali ke dunia pendidikan.
  @@@
6 tahun kemudian


“ Ibu, ayo ke tempat pemakaman Tante Ana”, pinta anakku. Aku yang sedang tersenyum terlihat dalam cermin kamar. Andai kala itu, ku putuskan semua di jalan apa adanya mungkin kini aku akan terjerat kesengsaraan. Kutatap foto lamaku bersama 3 sahabatku. “ ibu, cepat”. Kami berjalan keluar dan Bi Minah, sudah di depan pintu, “ Bu, Pak Akbar sudah pulang dari Singapura”, “ ayah?”. Anakku berlari menuju ruang tamu dan memeluk seorang lelaki yang kini telah menjadi seseorang yang melengkapi kebahagiaanku. Kegelapan yang mengintaiku kini berubah menjadi kebahagiaan yang menyelimutiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar